Mesir dan Hamka Oleh: Roni Tabroni Mesir dalam catatan sejarah Hamka terbilang cukup istimewa. Di negara ini, tepatnya di Universitas Al A...
Mesir dan Hamka
Oleh: Roni Tabroni
Mesir dalam catatan sejarah Hamka terbilang cukup istimewa. Di negara ini, tepatnya di Universitas Al Azhar, Hamka pernah berorasi di depan raturan jajaran civitas akademika di kampus paling tua ini.
Pidato yang mengupas tentang perkembangan pemikiran Islam Jamaludin Al afghani dan Abduh itu, mendapat apresiasi para petinggi kampus. Kedalaman ilmu Hamka mampu membuka mata dunia, tentang betapa ulama yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal ini dapat menyampaikan materi yang sangat memukau.
Selain itu, Al Azhar juga menilai Hamka sebagai ulama yang konsisten berdakwah dengan metode-metode yang lebih maju pada zamannya. Di antara metode yang dikembangkan Hamka, bukan hanya berceramah, tetapi juga menulis baik di media massa maupun menulis buku.
Apresiasi yang sangat tinggi diberikan oleh Universitas Al Azhar kepada Hamka berupa DR (HC). Penghargaan ini menyusul penghargaan serupa yang telah disematkan juga kepada ayahnya yaitu Haji Rasul 16 tahun sebelumnya.
Walaupun momentum pidato dan pemberian penghargaan tidak berada di waktu yang bersamaan, namun hal itu, tidak mengurangi makna dari sebuah penghormatan dan pengakuan keulamaannya. Dinamika politik internal mesir pada masa itu, juga sempat menunda sementara prosesi pemberian gelar DR (HC) untuk Hamka.
Namun, selain kepada Haji Rasul dan Hamka, Universitas Al Azhar juga telah memberikan penghargaan kepada Ir Soekarno. Soekarno tidak hanya dipandang sebagai politisi dan nasionalis sejati, juga dianggap sebagai tokoh yang cukup besar jasanya dalam mengembangkan nilai-nilai Islam di Indonesia.
Mendapatkan penghargaan berupa DR (HC), tentu bukan target dari dakwah Hamka. Penghargaan itu hanya sekelumit kisah bagaimana orang memandang perjalanan dakwahnya yang begitu konsisten. Bahkan, walaupun tidak pernah menamatkan pendidikan formal, Hamka memiliki pemikiran yang brilian tentang dunia Islam, khususnya tentang isu-isu pembaharuan pemikiran Islam.
Bahkan, taburan karya tulisnya menggambarkan keluasan berfikir dan kedalaman ilmu Hamka dalam berbagai bidang. Ajaran keagamaan Hamka dimulai dari hal sangat mendasar yaitu Tauhid. Sebelum mengajarkan hal-hal lain, seri pendidikan Agama Islam yang utama adalah tauhid terlebih dahulu. Setelah tauhid, baru Hamka menguraikan bahasan lain terkait dengan keimanan, ibadah, dan muamalah.
Namun, Universitas Al Azhar sebenarnya bukan satu-satunya kampus yang memberikan gelar DR (HC) kepada Hamka. Sebab setelahnya, Universitas Kebangsaan Malaysia pun memberikan penghormatan yang sama.
Bahkan, di Malaysia, Hamka tidak hanya diberi penghargaan secara simbolis, tetapi juga pemikiran keagamaan Hamka yang tertuang dalam buku maupun tafsirnya diajarkan di sekolah-sekolah. Maka tidak heran di Malaysia, Hamka begitu dicintai.
Namun demikian, Mesir tetaplah istimewa bagi Hamka. Selain sebagai negara yang memberikan penghargaan melalui Al Azhar, juga Hamka mendapat inspirasi pemikiran pembaharuan Islam lewat tokoh-tokohnya seperti Abduh dan Jamaludin Al-Afghani. Tokoh-tokoh inspirasi ini banyak mewarnai pemikiran Hamka dalam memandang Islam sehingga menjadi lebih maju dan modern.
Ajaran tasawuf modern misalnya, menjadi salah satu karya yang sangat banyak mempengaruhi cara pandang orang terhadap tasawuf yang tidak lagi jumud. Di bawah tafsir keagamaan Hamka, ajaran tasawuf mampu ditransformasikan menjadi sebuah ajaran yang lebih dinamis dan berprikemanusiaan. Tasawuf yag tidak lagi hanya berorientasi pada kepuasan pribadi, tetapi menggerakan kehidupan sosial.
Karenanya, walaupun tidak ada catatan (setidaknya yang penulis tahu) yang menunjukkan Hamka pernah berlama-lama di Mesir, tetapi Mesir tetap istimewa. Maka ketika Hamka menjadi imam masjid Kebayoran di Jakarta, Hamka ingin sekali mengundang rektor Universitas Al Azhar. Setelah melalui perjuangan panjang, serta bekerjasama dengan Pemerintah (Soekarno) penantian itu tercapai juga. Kehadiran Rektor Universitas Al Azhar juga ditandai dengan pengubahan nama Mesjid Kebayoran menjadi Mesjid Al Azhar.
Maka dari sinilah kita dapat melihat, bagaimana ikatan kebatinan Hamka melalui mesjid Al Azhar (Indonesia) dengan Universitas Al Azhar (Mesir) terjalin kuat. Inilah potensi positif yang perlu dilestarikan dan dikembangkan lagi oleh generasi berikutnya agar kerjasama ini semakin produktif khususnya dalam pengembangan dakwah di kedua negara ini.
Penulis: Sekretaris MPI PP Muhammadiyah. Alexandria-Mesir, 1 Nopember 2018
The post Mesir dan Hamka appeared first on Menara62.
from Menara62 https://ift.tt/2QeBmuj
via gqrds
Tidak ada komentar